Mobil yang diam, hati yang lebih diam
Kemarin aku melihat mobilnya terparkir di sudut jalan. Rasanya seperti melihat bayangan yang dulu begitu akrab, namun kini hanya menyisakan tanda tanya. Mobil itu diam, seolah tahu ada mata yang sedang mencari pemiliknya.
Aku menunggu sekilas, berharap ia muncul, berharap ada pesan masuk, berharap ada alasan yang bisa menenangkan. Tapi tidak ada. Mobil itu tetap di sana, tanpa dirinya, tanpa kabar, tanpa penjelasan.
Lucu, betapa kecilnya aku saat itu. Hanya karena sebuah mobil, aku kembali teringat betapa aku pernah menggantungkan bahagia pada seseorang yang bahkan tak bisa menepati sekadar kabar.
Hubungan ini memang penuh ruang kosong. Ia hadir sekejap, lalu menghilang begitu saja. Dan aku, berkali-kali menenangkan diri dengan kata “mungkin.” Mungkin sibuk, mungkin bingung, mungkin tak ingin menyakitiku dengan jujur. Tapi pada akhirnya, diam lebih menyakitkan daripada kata “tidak.”
Aku berdiri menatap mobil itu lama, lalu memutuskan untuk pergi. Karena aku sadar, aku tidak bisa terus menunggu seseorang yang bahkan tidak berusaha menemui mataku.
Hari itu aku belajar satu hal: kadang bukan kabar yang kita tunggu, tapi keberanian untuk menerima bahwa kabar itu memang tak akan pernah datang.
Dan aku sudah cukup berani untuk berhenti.
Komentar
Posting Komentar