Obrolan yang tertunda,
Hari itu, ponselnya bergetar. Satu pesan masuk, balasan dari dia yang sudah lama ditunggu.
“Oke,.”
Hanya satu kata, tapi cukup membuat senyum tipis muncul di wajahnya. Ia tahu balasan itu singkat, bahkan terasa hambar, tapi tetap saja… ada perasaan hangat menyelinap. Setidaknya, dia masih membaca. Setidaknya, dia masih menjawab.
Ia menatap layar ponselnya lama-lama, jemarinya ragu menari di atas keyboard. Ingin sekali ia mengetik sesuatu lagi, sekadar melanjutkan, sekadar menjaga agar percakapan tidak padam. Namun, rasa takut muncul: Kalau aku terus mulai, apa aku terlihat terlalu berusaha? Apa aku jadi kecil di matanya?
Ponsel itu akhirnya ia letakkan di meja. Ia berjalan keluar kamar, mencoba mengalihkan pikiran dengan udara sore yang lembut. Angin menerpa wajahnya, seakan berbisik bahwa tak semua rasa harus segera terjawab.
Malam pun tiba, dan rasa rindu kembali menyeruak. Ia menatap layar ponsel sekali lagi. Chat itu masih di sana, terhenti.
Namun entah mengapa, ada keyakinan kecil dalam hatinya: mungkin percakapan ini belum berakhir. Mungkin hanya sedang tertunda.
Karena meski dia diam, ada momen-momen kecil yang membuatnya percaya: tatapan yang tak sengaja tertangkap, like sederhana di status, atau cara dia hadir meski samar. Semua itu adalah tanda, sekecil apa pun, bahwa ia tidak sepenuhnya hilang.
Dengan hati yang setengah ragu, ia tersenyum.
“Kalau memang ada jalannya, semesta pasti mempertemukan lagi. Kalau tidak… aku akan tetap baik-baik saja.”
Dan untuk malam itu, ia memilih untuk percaya—bahwa esok masih menyimpan cerita yang lebih manis.
Komentar
Posting Komentar