Berhenti Menunggu..

Ada titik ketika segala tanda kecil yang dulu kurasakan mulai membentuk sebuah gambar yang utuh — bukan gambar yang manis seperti yang kubayangkan, tapi bayangan yang jelas dan menyakitkan. Hari ini aku menulis tentang seseorang yang pernah kuberi harapan, tentang kenangan manis yang ternyata penuh celah.

Awalnya dia tampak baik. Dia bisa membuatku merasa diperhatikan; kata-katanya lembut, perhatiannya hangat, dan aku percaya.

Dari sedikit demi sedikit cerita yang kudengar — dari teman-temannya, dari potongan-potongan masa lalu yang kuselidiki sendiri — mulai keluar pola yang sama. Dia cepat berpindah dari satu hubungan ke hubungan lain. Dia suka dipuji; pujian membuatnya percaya diri, membuatnya merasa diinginkan. Dia memberi keyakinan bahwa suatu hari kami akan bersama, tapi tindakan seringnya tidak selaras: kadang ramah, kadang dingin. Seolah-olah dia ingin dicintai, tapi tidak ingin bertanggung jawab atas cinta itu.

Yang paling menyakitkan adalah benang merah itu dengan mantannya. — hal kecil yang terasa seperti bukti bahwa ada sesuatu yang belum berakhir. Aku yang berharap pada kata-katanya, kini harus mengakui: mungkin dia memang masih terikat pada masa lalu. Mungkin dia memang tidak mampu memberi kepastian.

Ada amarah dalam pengakuan itu. Ada juga kekecewaan — bukan hanya pada dirinya, tapi pada diriku sendiri karena sempat menunggu, karena sempat mengira kemurnian hatinya sama dengan kata-kata manisnya. Aku sempat berpikir balas dendam: membuat dia menyesal, menarik kembali apa yang dia beri. Tapi ada cara balas dendam yang lebih jernih daripada skenario konfrontasi. Cara yang tak merusak siapa pun, termasuk diriku sendiri.

Hari ini aku memutuskan berhenti menunggu. Diamku ketika dia memberi sinyal — itu bukan kebodohan, itu pilihan. Aku memilih untuk menata hidupku, bukan menata drama yang bukan urusanku.

Pelajaran yang kuterima keras: kebaikan yang ditampilkan seseorang bukan selalu cerminan komitmen; kata-kata janji bukan bukti; dan cinta yang sehat bukan hanya tentang mendapat perhatian, melainkan tentang konsistensi dan penghargaan. Aku belajar untuk membedakan antara yang ingin dipuji dan yang ingin bertanggung jawab, antara yang sekadar hadir di momen nyaman dan yang setia di saat sulit.

Menutup bab ini bukan berarti aku tidak pernah terluka. Aku masih sakit. Tapi luka itu berubah menjadi pegangan: aku menjadi lebih waspada, lebih memilih diri sendiri, dan lebih berani mengucapkan, “cukup.” Aku tidak akan menunggu seseorang yang sibuk bermain dengan perasaan orang lain. Aku akan menjauh agar bisa sembuh, berkembang, dan menemukan seseorang yang keberadaannya memberi ketenangan, bukan kontradiksi.

Jika dia melihatku dan bertanya mengapa aku tidak lagi menyapa, biarkan saja. Jawabannya sederhana: aku memilih damai. Aku memilih nilai diriku. Aku memilih jalan yang membuatku tumbuh.

Di akhir hari ini aku menutup pintu masa lalu sedikit lebih rapat. Bukannya untuk mengunci kenangan, tapi untuk memberi ruang bagi hal-hal yang benar-benar pantas untuk disimpan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat terakhir dariku 🌻

Saat Love Itu Jadi Awal

🕊️Pengingat Hati