Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Maafin mereka sekeluarga ya..

Kadang kita sering denger kalian, "maafin mereka sekeluarga ya” Seolah-olah beban sakit hati yang kita alami harus ditutup rapi dengan satu kata "maaf" tanpa ada ruang buat kita untuk benar-benar didengar. Tapi pernah gak kamu mikir, kalau aku yang disakiti, kalau keluargaku yang terseret dan ikut merasa sakit, terus siapa yang bakal minta maaf ke kita? Memaafkan memang mulia, tapi bukan berarti kita harus meniadakan rasa sakit. Justru, memaafkan itu proses panjang: mulai dari mengakui luka, mengizinkan diri marah, sampai akhirnya berdamai. Tapi damai bukan berarti melupakan tanggung jawab orang yang bersalah, ada dua sisi: yang berbuat salah harus belajar minta maaf dengan tulus, dan yang disakiti berhak menerima atau menolak maaf itu sesuai kesiapan hatinya.

Cerita Rasa yang Melelahkan..

Aku pernah merasa jatuh hati pada seseorang dengan cara yang sederhana. Tidak ada kata-kata manis berlebihan darinya, tidak ada janji manis yang diucapkan. Tapi entah kenapa, setiap percakapan kecil dengannya selalu membuatku betah. Bahkan hal-hal sepele pun terasa istimewa. Aku berusaha menjaga obrolan agar tetap hidup, sesekali menggoda dengan candaan, sesekali pura-pura cuek padahal hatiku sedang berdebar. Rasanya aku ingin terus menemukan alasan untuk membuatnya tersenyum. Tapi di balik semua itu, ada lelah yang perlahan tumbuh. Lelah ketika aku merasa hanya aku yang berusaha lebih keras. Lelah ketika candaan yang kubuat tidak selalu ditanggapi sebagaimana aku harapkan. Dan lelah ketika hatiku berharap lebih, padahal mungkin dia tidak pernah berniat sejauh itu. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri: “Kenapa aku masih bertahan? Apa karena aku benar-benar menyukainya, atau hanya karena aku terbiasa dengan perasaan ini?” Di titik ini, aku belajar bahwa mencintai seseorang tidak melu...

Berhenti Menunggu..

Ada titik ketika segala tanda kecil yang dulu kurasakan mulai membentuk sebuah gambar yang utuh — bukan gambar yang manis seperti yang kubayangkan, tapi bayangan yang jelas dan menyakitkan. Hari ini aku menulis tentang seseorang yang pernah kuberi harapan, tentang kenangan manis yang ternyata penuh celah. Awalnya dia tampak baik. Dia bisa membuatku merasa diperhatikan; kata-katanya lembut, perhatiannya hangat, dan aku percaya. Dari sedikit demi sedikit cerita yang kudengar — dari teman-temannya, dari potongan-potongan masa lalu yang kuselidiki sendiri — mulai keluar pola yang sama. Dia cepat berpindah dari satu hubungan ke hubungan lain. Dia suka dipuji; pujian membuatnya percaya diri, membuatnya merasa diinginkan. Dia memberi keyakinan bahwa suatu hari kami akan bersama, tapi tindakan seringnya tidak selaras: kadang ramah, kadang dingin. Seolah-olah dia ingin dicintai, tapi tidak ingin bertanggung jawab atas cinta itu. Yang paling menyakitkan adalah benang merah itu dengan mantannya. ...

Kamu Bukan Jahat, Hanya Aku Yang Berlebihan..

Kehadiranmu pernah aku anggap sebagai anugerah. Saat itu aku merasa beruntung, karena denganmu aku menemukan alasan baru untuk berharap dan bermimpi bersama. Rasa sayang yang tumbuh dalam diriku begitu besar hingga membuatku menutup mata pada banyak hal. Aku percaya kamu datang karena cinta, padahal sesungguhnya hanya aku yang menaruh cinta sebesar itu. Ada yang berusaha membuka mataku. Orang-orang di sekitarmu berkata kamu tidak sebaik yang kubayangkan. Tapi aku memilih tidak mendengarkan, karena hatiku sudah terlanjur terpaut padamu. Cinta membuatku buta, dan aku rela mengabaikan semua peringatan. Belakangan aku mengerti, ternyata kehadiranmu tidak lahir dari ketulusan. Kau hanya terdorong oleh rasa penasaran—mungkin penasaran pada hidupku yang berantakan. Kau seolah memberi kasih, seolah memberikan perhatian, padahal itu hanya permainan kecil bagimu. Bagimu semua biasa saja, tapi bagiku tidak. Aku menerima setiap sikapmu dengan hati yang serius, dengan rasa sayang yang tumbuh semaki...

Aku Penting? Atau Hanya Pelarian?

Ada masa di mana aku merasa jadi seseorang yang “dicari” hanya ketika orang lain sedang kosong, sepi, atau butuh teman cerita. Rasanya seperti jadi hujan yang dirindukan saat kemarau, tapi dilupakan begitu matahari kembali bersinar. Seakan-akan aku hanya penting ketika dia butuh, bukan ketika aku sendiri ingin diperhatikan. Aku sadar, pola ini membuatku lelah. Hubungan yang sehat seharusnya saling melengkapi, bukan hanya satu pihak yang memberi sementara pihak lain hanya datang dan pergi sesuka hati. Aku pun belajar: aku tidak harus selalu tersedia. Aku berhak punya dunia sendiri, punya kebahagiaan yang tidak bergantung pada siapa pun. Kadang menyakitkan menerima kenyataan bahwa aku hanyalah “tempat singgah” baginya. Tapi lebih menyakitkan lagi kalau aku terus membiarkan diriku berada di posisi itu. Maka, perlahan aku belajar menjaga jarak, mengatakan “tidak”, dan merawat hatiku sendiri. Dan di tengah semua itu, aku menemukan satu hal berharga: aku tidak bisa mengatur bagaimana orang m...